Dalam beberapa diskusi tentang Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sering muncul pertanyaan tentang batasan klasifikasi usaha konstruksi. Apakah Klasifikasi harus dilihat atas subyeknya (pemberi jasa konstruksi), atau obyeknya (nilai proyek jasa konstruksi)?
Yang saya alami, pada saat memberikan sosialisasi kewajiban perpajakan bagi bendahara Dinas Pekerjaan Umum masalah ini mengemuka. Hal ini menjadi penting bagi Dinas Pekerjaan Umum, karena pada saat terjadi audit (pemeriksaan) baik yang dilakukan oleh BPK maupun Inspektorat, klasifikasi usaha jasa konstruksi sering menjadi koreksi (baca : temuan) yang pendasaran peraturan atas koreksi tersebut belum memuaskan bagi dinas PU.
Ketentuan yang menyebabkan adanya kerancuan pertanyaan diatas mungkin saja ada di ketentuan perpajakan terbaru tentang jasa konstruksi yang diatur dalam
PERATURAN PEMERINTAH No 40 tahun 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI
Pasal I : Perubahan Pasal 10, dan penambahan pasal 10A, pasal 10B, dan Pasal 10C
Sehingga menjadi :
Pasal 10
Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:
a. atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi ditentukan sebagai berikut:
1) dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
2) dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Wajib Pajak yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ternyata munculnya kerancuan tersebut diatas sebagian besar disebabkan ketentuan diatas, tepatnya perubahan pasal 10 huruf a angka 2, yang didalamnya membatasi klasifikasi pada subyeknya (klasifikasi usaha kecil) dan batasan pada nilai pengadaan (sampai dengan 1 milyar rupiah).
Yang menganggap ketentuan ini rancu, mungkin perlu membaca lebih teliti, karena sebenarnya PP No 40/2009 ini adalah ketentuan peralihan yang mengatur (khususnya) kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008.
Artinya, ketentuan perpajakan jasa konstruksi yang pelaksanaannya selain yang diatur ketentuan pasal 10, tidak perlu memperhatikan ketentuan pasal 10 tersebut. Dengan kata lain untuk kontrak yang ditandatangani setelah tanggal 1 Agustus 2008 berlaku ketentuan tarif pasal 3, PP 51 Tahun 2008 yang telah dirubah dengan PP 40 Tahun 2009 dan sifatnya final, yaitu :
Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Untuk selanjutnya, penting juga untuk melihat bagaimana batasan klasifikasi usaha jasa konstruksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar