Pengadaan (pemesanan) kapal apakah masuk dalam kategori
pengadaan barang (modal) atau pekerjaan konstruksi..? Demikian, sebuah pertanyaan
muncul dalam kegiatan Sosialisasi Kewajiban Perpajakan Bagi Pengelola
Keuangan di Lingkungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kutai Timur.
Pertanyaan
ini penting, karena kewajiban bendahara terkait kegiatan tersebut akan tidak
tepat jika penggolongan kegiatan tersebut tidak tepat. (Pengadaan barang
dipungut PPh 22, sedang pekerjaan Konstruksi dipotong PPh 4 ayat(2)
konstruksi). Sampai dibuatnya tulisan ini, saya masih juga belum menemukan
jawaban yang memuaskan…
Dengan ditulisnya permasalahan ini, saya berharap ada yang
berkenan membagi ilmu dan pengalamannya tetang masalah diatas..
Sekilas pengadaan (pemesanan) kapal baru memang terlihat
sederhana, karena lebih sesuai dikategorikan sebagai pengadaan barang (modal).
Namun ada pemikiran kritis terkait kemungkinan kegiatan tersebut dikategorikan
pekerjaan konstruksi, saya coba sebutkan latarbelakang pemikiran kritis
tersebut :
- Dalam UU nomor 19 tahun 2000 tentang PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA, pasal 14 ayat (1) huruf b, kedudukan kapal dengan isi kotor tertentu (diatas 20 meter kubik) dikategorikan sebagai barang tidak bergerak sejajar dengan tanah dan bangunan. Kutipannya sebagai berikut : “barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu”. Jika ditafsirkan lebih lanjut, konsekuensi dari kesamaan kapal dengan bangunan (barang tidak bergerak) maka pembuatan (pembangunan) nya juga dikategorikan sebagai pekerjaan konstruksi
- Dalam PP No 51 tahun 2008 yang telah dilakukan perubahan menjadi PP No 40 Tahun 2009 tentang PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI pasal 1 angka 3 : “Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. Adanya kata “bentuk fisik lain” mengandung arti bahwa ada wujud lain selain bangunan sebagai hasil dari pekerjaan konstruksi, sayangnya dalam memori penjelasan PP ini, “bentuk fisik lain” tidak dijelaskan lebih lanjut. (Salahkah jika ada yang menafsirkan bentuk fisik lain tersebut termasuk kapal dengan isi kotor tertentu?)
- Dalam Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (singkat : Perpres PBJ), penjelasan pasal 4 huruf b : Pekerjaan Konstruksi adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya. Yang dimaksud dengan pembuatan wujud fisik lainnya, meliputi keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan pelaksanaan yang mencakup pekerjaan untuk mewujudkan selain bangunan antara lain, namun tidak terbatas pada: (a) konstruksi bangunan kapal, pesawat atau kendaraan tempur; ..... Dapat disimpulkan dalam ketentuan Perpres diatas, pembuatan kapal dikategorikan sebagai Pekerjaan Konstruksi.
- Pada beberapa pengumuman lelang pengadaan kapal (besar > 20 meter kubik) menggunakan kata-kata “Pembangunan Kapal” dan masuk kategori pekerjaan konstruksi. Beberapa Linknya :
Tiap pejabat pengadaan barang/jasa pemerintah, wajib tunduk
pada PerPres PBJ, maka dalam klausul pengadaan (pemesanan) kapal juga wajib
sebagai pekerjaan konstruksi. Lalu, bagaimana kewajiban perpajakan bendahara
terkait pengadaan Kapal tersebut?
Lha, klo memang sudah jelas sebagai pekerjaan konstruksi, ya
sebaiknya bendahara memotong PPh Pasal 4 ayat (2) Konstruksi…
Namun ternyata tidak sesederhana itu , ada beberapa kendala
ketika pengadaan kapal dipotong PPh Pasal 4 ayat (2). Saya juga ingin menyampaikan
beberapa kesulitan tersebut :
- Pada PP No 51 tahun 2008 yang telah dilakukan perubahan menjadi PP No 40 Tahun 2009 tentang PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI pasal 1 disebutkan bahwa pemberi jasa konstruksi (pelaksana, perencana dan pengawas) adalah orang pribadi atau badan yang (harus) dinyatakan ahli yang profesional di bidangnya. Dalam PP tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut pengertian ahli yang professional dibidangnya. Penafsiran terhadap ahli yang professional adalah dengan dimilikinya Ijin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) dan Surat Badan Usaha (SBU) Konstruksi, sesuai dengan Undan-undang Jasa Konstruksi (UU nomor 18 tahun 1999)
- Tarif Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) konstruksi juga berkaitan dengan klasifikasi usaha yang dituangkan dalah IUJK dan SBU Konstruksi.
- Pada kenyataannya Perusahaan Galangan Kapal (yang membangun kapal) tidak memiliki IUJK maupun SBU Konstruksi karena tidak tunduk pada UU Jasa Konstruksi.
Jika pengadaan kapal (dipaksakan) masuk kategori pekerjaan
konstruksi, akan berbenturan dengan batasan pemberi jasa konstruksi (dinyatakan
ahli dan professional dibidangnya yang dinyatakan dalam IUJK dan SBU
Konstruksi). Belum lagi penerapan tarif yang akan bermasalah dengan klasifikasi
pemberi jasa konstruksi.
Tulisan ini juga tidak ingin dianggap melempar masalah tanpa
memberikan pendapat. Namun Karena lebih sebagai pendapat pribadi, saya berkeinginan
tulisan ini dikritisi untuk mendapatkan solusi yang terbaik.
Pendapat pribadi saya kira-kira seperti ini
- Dikarenakan dalam Perpres PBJ diatas, pembuatan kapal dikategorikan sebagai Pekerjaan Konstruksi, maka kewajiban perpajakan juga mengikutinya, dengan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) konstruksi. Didalam ketentuan pajak sendiri disebutkan bahwa hasil dari pekerjaan konstruksi tidak selalu bangunan, bisa “bentuk fisik lain” (tafsiran salah satunya : kapal dengan isi tertentu yaitu diatas 20 m kubik)
- Untuk masalah sertifikasi pengusaha pembuat (galangan) kapal memang tidak seharusnya dipaksa untuk memiliki IUJK dan SBU konstruksi karena memang tidak tunduk pada UU Jasa Konstruksi. Klasifikasi usaha yang digunakan adalah sesuai Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2009. Sehingga untuk memastikansyarat “ ahli yang professional” cukup dengan yang disyaratkan adalah Ijin Usaha Industri Kapal (coba perhatikan pada link contoh pengadaan barang/jasa diatas). Pendapat ini saya sesuaikan dengan diskusi di sebuah forum pengadaan barang/Jasa (link-nya : http://forum.pengadaan.org/phpbb/viewtopic.php?f=6&t=2976)
- Tarif pemotongan terkait dengan klasifikasi usaha, gunakan pemotongan tarif bagi pemberi jasa yang tidak memiliki klasifikasi (apabila tidak memiliki klasifikasi)
Untuk alasan ketiga hanya demi keamanan, karena pada saat
uji kepatuhan perpajakan yang kelebihan pemotongan bisanya tidak terlalu
disalahkan (ini hanya untuk yang setuju ya hehe…).
Sekali lagi saya berkeinginan tulisan ini dikritisi, agar
menghasilkan solusi yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar